Fakta Pembantaian 1 Juta Jiwa Anggota PKI di Indonesia Tahun 1965-1966

Also Read

Diawali kisah sejarah kelam dari Bangsa Indonesia, tepatnya pada 30 September 1965, dimana 7 Perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) di culik serta di bunuh di Jakarta, agresi ini dikenal dengan Gerakan 30 September, atau disingkat G30S PKI.

Catatan sejarah kemudian mencatatkan di benak segenap Bangsa Indonesia bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) berada di balik penculikan dan pembunuhan yang dilakukan terhadap 7 Perwira Tinggi Angkatan Darat.

Setelah kejadian G30S PKI, penumpasan terhadap para anggota Partai Komunis mulai di gencarkan, gerakan pemberantasan PKI ini di pimpin oleh Letjen Soeharto yang kemudian jadinya menjadi Presiden Indonesia yang ke-2.

aksi pembantaian satu jiwa orang yang terlibat organisasi partai komunis indonesia atau PKI

Beberapa ahad kemudian setelah agresi G30S PKI, jutaan orang yang di tuduh dan terlibat dalam organisasi Partai Komunis Indonesia kemudian di bantai dan di bunuh, banyak di antara para korban bahkan banyak yang tidak tahu menahu wacana pembunuhan yang dilakukan terhadap 7 perwira, atau pun wacana organisasi PKI.

Aksi pembersihan terhadap organisasi PKI ini di lakukan secara gencar di tiap tempat di Indonesia, siapapun mereka yang di duga dan di curigai terlibat organisasi terlarang PKI akan di bunuh dan tidak pandang bulu.

Pembersihan dimulai pada bulan Oktober 1965 di Jakarta, selanjutnya menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta Bali. 

Pembantaian dalam skala kecil juga dilancarkan di sebagian tempat di pulau-pulau lainnya, terutama Sumatera. 

Pembantaian terburuk terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatera utara dan Bali.

Petinggi-petinggi PKI kemudian diburu dan ditangkap, para petinggi PKI seperti, Njoto, ditembak pada tanggal 6 November, selanjutnya ketua PKI Dipa Nusantara Aidit pada 22 November, serta  Wakil Ketua PKI M.H. Lukman.


Kebencian terhadap PKI dikobarkan oleh angkatan darat pada dikala itu, sehingga banyak penduduk Indonesia yang juga terlibat ikut serta dalam pembantaian ini

Peranan angkatan darat dalam peristiwa pembantaian ini tidak pernah diterangkan secara jelas. 


pembantaian besar besaran terhadap para anggota pki
image via intelijen.co.id
Bahkan di beberapa tempat, angkatan bersenjata malah melatih dan menyediakan senjata kepada milisi-milisi lokal untuk ikut serta melaksanakan pembantaian.

Di tempat lain para vigilante mendahului angkatan bersenjata untuk beraksi, meskipun pada umumnya pembantaian tidak berlangsung sebelum tentara mengenakan sanksi kekerasan.

Di beberapa tempat para milisi tahu tempat bermukimnya para anggota komunis dan simpatisannya, dan sementara di tempat lain tentara meminta daftar tokoh komunis dari para kepala desa.

Keanggotaan PKI tidak disembunyikan secara belakang layar dan mereka sangat mudah ditemukan dalam masyarakat. Bahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menyediakan daftar sekitar 5.000 orang yang diduga sebagai komunis kepada angkatan bersenjata Indonesia.

Beberapa cabang PKI sempat melancarkan perlawanan dan juga pembunuhan balasan, namun sebagian besar mereka sama sekali tidak bisa melawan.


pembantaian para anggota PKI tahun 1966

Faktanya tidak semua korban pembantaian merupakan anggota PKI. Seringkali mereka hanya di-cap sebagai "PKI", tuduhan ini kemudian diterapkan kepada tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang beraliran kiri.

Dalam banyak kasus-kasus lainnya, para korban juga merupakan orang-orang yang hanya dituduh atau diduga sebagai anggota komunis.

Tidak hingga disitu saja bahkan warga keturunan Tionghoa juga turut menjadi korban pembantaian. 

Beberapa dari mereka banyak yang dibunuh, dan juga harta benda mereka dijarah. 

Seperti di Kalimantan Barat, setidaknya sekitar delapan belas bulan setelah pembantaian di pulau Jawa, orang-orang Dayak kemudian mengusir 45.000 warga keturunan Tionghoa dari wilayah pedesaan mereka. Bahkan ratusan hingga ribuan orang di antara mereka tewas dibantai.


pembantaian dan pembunuhan masal para anggota pki

Metode pembantaian yang digunakan meliputi penembakan ataupun pemenggalan kepala dengan menggunakan pedang samurai Jepang. 

Mayat-mayat korban hasil pembantaian dilempar begitu saja ke sungai, hingga pejabat-pejabat kemudian mengeluh alasannya yakni sungai yang mengalir ke Surabaya kemudian tersumbat oleh jasad para korban pembantaian. 

Di wilayah Jawa ibarat Kediri, Gerakan Pemuda Ansor Nahdlatul Ulama kemudian menyuruh orang-orang komunis untuk berbaris. 

Mereka lalu menggorok leher orang-orang tersebut, lalu mayat para korban dibuang ke sungai.

Pembantaian ini menyebabkan beberapa cuilan desa menjadi kosong, dan rumah-rumah para korban kemudian dijarah atau diserahkan kepada angkatan bersenjata.


Kemudian Pembantaian mereda pada bulan Maret 1966, meskipun beberapa pembersihan kecil masih saja berlangsung hingga tahun 1969.

Para penduduk Solo menyatakan bahwa meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada bulan Maret 1966 menandai berakhirnya agresi pembantaian anggota PKI.


Pengakuan Anwar Congo Jagal PKI dari Sumatera Utara
anwar congo algojo yang membantai ribuan anggota pki di sumatera utara
image via m.tempo.co
Adalah Anwar Congo pria asal Sumatera Utara yang jadinya membuat pengesahan yang cukup mengejutkan, dimana beliau mengaku pada kurun waktu tahun 1965-1966 telah membantai banyak anggota PKI di Sumatera Utara, dan beliau merupakan salah satu dari Algojo yang melaksanakan pembunuhan terhadap para anggota PKI.

Anwar di kenal dahulu sebagai preman yang cukup di takuti di sebuah Bioskop di Medan.

Kisah Penjagal dan Pembantai PKI dari Sumatera Utara ini  kemudian di buatkan film dokomenter instruksi Joshua Oppenheimer yang berjudul The Act of Killing atau berarti Jagal.

Film tersebut menampilkan kesadaran Anwar wacana bagaimana menjadi seorang pembunuh dan bagaimana seandainya menjadi korban yang dibunuh. 

Saat The Act of Killing diputar di Festival Film Toronto, pers Barat menyebutkan bahwa film tersebut sangat mengerikan dan mengguncang batin. Hal itu alasannya yakni Anwar terlihat tampak besar hati dengan tindakannya tersebut. 

Bisakah film ini kemudian mengubah cara pandang masyarakat Indonesia wacana sejarah yang kelam yang terjadi pada tahun 1965?

Laporan utama majalah Tempo edisi 1 Oktober 2011 berjudul "Pengakuan Algojo 1965" mengungkap hal tersebut.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah film di Indonesia, sebuah film dokumenter yang menampilkan pengesahan seorang algojo penjagal PKI. Dimana Anwar Congo dalam film ini banyak memperagakan ulang kekerasan-kekerasan yang pernah dilakukan terhadap para terduga PKI. 

Anwar memiliki pembawaan yang riang, selain itu beliau juga dikenal jago ber-dansa. Penggemar Elvis Presley dan James Dean ini mengatakan, bahwa beliau sering membunuh sambil menari cha-cha. 

"Saya menghabisi orang PKI dengan rasa gembira," katanya. 

Dalam sebuah episode film, bersama rekannya sesama Algojo PKI tahun 1965, ia terlihat naik kendaraan beroda empat terbuka sembari menyusuri jalan-jalan di kota Medan. 

Mereka kemudian bernostalgia ke tempat-tempat dimana mereka pernah membunuh, di antaranya di sebuah jalan tempat dimana beliau menyembelih banyak warga keturunan Tionghoa. "Setiap ketemu Cina, eksklusif saya tikam…." Ujarnya.

Kawat merupakan salah satu senjata andalan Anwar dalam membantai dan membunuh orang yang di duga terlibat PKI, dalam film dokumenter tersebut Anwar menjelaskan mengapa beliau menggunakan kawat sebagai senjatanya untuk membunuh ?.

Menurutnya pembunuhan dengan menggunakan lilitan kawat tergolong bersih, tanpa perlu mengeluarkan ceceran darah, dan beliau tidak suka dengan anyir serta kotornya ceceran darah. 


anwar congo jagal dari medan

image via japantimes.co.jp
"Leher itu cuma Segini", ujar Anwar yang berusia 72 tahun tersebut sambil membuat ukuran leher dengan pertemuan jari kedua tangannya.

The Act of Killing merupakan film yang di buat di atas film. Film dokumenter ini kemudian membingkai film  Arsan dan Aminah yang dibuat Anwar. 

Film Arsan dan Aminah juga mengisahkan wacana agresi pembantaian terhadap PKI, Film ini juga merekam semua episode serta wawancara dengan Anwar.

Dalam The Act of Killing Joshua juga menyajikan pengesahan yang sangat mencengangkan dari pelaku pembantaian PKI antara tahun 1965-1966. 

Hingga kini pelaku pembantaian PKI merasa sebagai pahlawan. Mereka menganggap bahwa pembantaian itu layak untuk dilakukan. 

Kami angkat ceritanya dari sisi pelaku yang membayangkan bahwa perbuatan pembunuhan itu pantas dilihat oleh publik sebagai sebuah agresi yang heroik,” ujar Joshua melalui email pada 28 September 2012.

Film ini terang sangat berlawanan dengan propaganda yang dilakukan oleh Orde Baru selama puluhan tahun. 

Masyarakat hingga kini masih takut atau kurang informasi ketika mendapatkan kehadiran para pelaku pembantaian ini. 

Trailer film Jagal juga menawarkan kedekatan pelaku pembantaian dengan Ormas Pemuda Pancasila (PP), yang pada masa Orde Baru dinaungi oleh pemerintah. 

anwar congo sang penjagal dan pembunuh pki
image via kompasiana.com
Joshua juga memperingatkan banyak cuplikan yang beredar tidak masuk dalam edit final film Jagal yang ditayangkan di Toronto ini. 

Anwar mengesankan bahwa dirinya yakni seorang penyelamat bangsa. Satu versi yang lain menyebutkan bahwa hampir 1 Juta orang PKI terbunuh pasca pembantaian tahun 1965. 

Ini merupakan pelanggaran hak asasi yang berat. Dan Anwar hanyalah salah satu dari pelaku pembantaian dan pembunuhan. Selain itu Di banyak sekali tempat masih banyak "Anwar-Anwar" yang lain.

Namun kita juga tahu bahwa betapa tidak adilnya informasi wacana tragedi tahun 1965. Dimana Saat itu semua koran dikuasai oleh militer. 

Masyarakat dikala itu dicekoki kisah dan isu yang mengatakan bahwa komunis yakni musuh besar negara yang sangat identik dengan ateisme. 

Militer kemudian membuatkan daftar para anggota PKI yang harus dihabisi. Selain itu Militer juga melindungi para pelaku pembunuhan, bahkan juga menyuplai mereka dengan senjata api. 

Di beberapa tempat bahkan ada narapidana yang sengaja dilepaskan untuk memburu serta mencari "sang musuh negara".  Hal inilah yang membuat para algojo kemudian menganggap wajar saja tindakan yang mereka lakukan.

Pengakuan Frans de Romes Jagal PKI dari NTT
pengakuan Frans de Romes sang Jagal PKI dari NTT
 image via m.tempo.co
Frans de Romes, 74 tahun, merupakan satu dari 10 algojo penumpas anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur (NTT), beliau mengisahkan wacana pembantaian yang pernah dilakukannya pada tahun 1966.

Dilansir dari Tempo, Kisah pembantaian ini berawal dikala beliau bersama 9 orang sobat lainnya direkrut dari Rumah Tahanan (Rutan) Maumere, alasannya yakni Frans terkait kasus pembunuhan. Mereka lalu dijadikan algojo untuk penumpasan PKI di tempat itu. 

"Saya membunuh sekitar 39 orang, termasuk 2 anggota keluarga saya sendiri," kata Frans ketika disambangi Tempo di kediamannya, pada Rabu, 19 September 2012.

Selain membantai warga yang terduga PKI, menurut dia, mereka juga diperintahkan oleh Komando Operasi (Komop) untuk menggali lubang dan juga menguburkan orang yang terduga Anggota PKI yang dibantai secara massal. 

Pembantaian itu dilakukan oleh para algojo selama 4 bulan, tepatnya semenjak bulan Februari-Mei 1966. 

Usai menjalankan peran mereka sebagai eksekutar, para algojo ini kemudian dibayar sebesar Rp 150 ribu per orang dan juga di beri beras sebanyak 5 karung, yaitu ukuran 50 kg yang kemudian dibagi 10 orang, masing-masing algojo mendapat 25 kg beras. 


Dari 10 algojo tersebut, hanya Frans yang masih hidup. Sedangkan sembilan orang algojo lainnya telah wafat. 

Frans pun hidup miskin di sebuah gubuk pada salah satu desa di Kabupaten Sikka, NTT.

Pengungkapan Kasus Pelanggaran HAM
Menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, pemerintah supaya mengungkap kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berkaitan dengan pembantaian Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Hal ini menurutnya lebih baik ketimbang mewujudkan wacana meminta maaf kepada pihak PKI.

"Perlu ada upaya untuk meluruskan perspektif, bahwa siapa sebetulnya yang menjadi korban," ujar Dahnil dikala dihubungi republika.co.id, pada Rabu (30/9). 

Dahnil menilai jikalau Presiden meminta maaf kepada PKI, hal ini cenderung akan menimbulkan pertentangan gres yang berkaitan dengan Isu PKI, kata Dahnil, bukan hanya wacana pembunuhan pada para pahlawan revolusi, tapi juga berkaitan dengan pembangkangan pada Idiologi Pancasila.

"Pemerintah Indonesia bukan perlu meminta maaf kepada PKI, namun hendaknya membentuk semacam tim untuk menyelidiki kejahatan HAM di masa lalu," ujarnya.

Pemerintah pun diminta untuk membongkar kejahatan HAM secara menyeluruh. 

Dan menurut Dahnil, pemerintah tidak hanya perlu untuk menyelidiki kasus pembunuhan tokoh-tokoh PKI, namun juga pembunuhan terhadap ulama dan juga tokoh-tokoh Islam pada 1940-an yang dilakukan PKI, termasuk juga penahanan dan pembunuhan pada kader-kader Masyumi.

"Perlu diingat, harus dibongkar seluruhnya dan jangan parsial. Dalam kasus ini harus obyektif dan adil alasannya yakni ini membicarakan HAM," ujar Dahnil.


Film Dokumenter The Act of Killing

Lindsay Oliver

Lindsay Oliver is a talented writer who has made a name for herself at www.origincars.uk, a popular online platform that specializes in writing about cars and the automotive industry. With a passion for writing and a deep interest in the world of cars, Lindsay has become an authority in her field, regularly sharing her insights and knowledge with readers from all over the world.

Post a Comment

Previous Post Next Post